Sejak pertengahan abad ke-19 terdapat tidak kurang dari 833.000 orang Madura yang bertempat tinggal di Jawa Timur dan bagian terbesar penduduk yang tinggal di pantai utara Jawa Timur berasal dari Madura (Hageman Czn. 1858: 324-325). Karena pengembangan usaha perkebunan swasta di daerah pedalaman Jawa Timur pada pertengahan abad ke-19 butuh tenaga besar, maka migrasi penduduk dari Madura ke Jawa Timur meningkat pesat, dari Sumenep saja setiap tahun rata-rata 10.000 penduduk yang bermigrasi (Koloniaal Verslag 1892′ Bijlage C, No.22:3). Para migran dari Sumenep dan Pamekesan, umumnya bermigrasi ke daerah Jember, Situbondo, Bondowoso, dan Banyuwangi (Werkschema Reboisatie Madoera, 1938: 9-10).
Secara paradoks, Kabupaten Sumenep yang ditinggalkan oleh warga Madura justru didiami oleh orang-orang yang asal-usulnya dari negeri asing. Menurut catatan Raffles dalam The History of Java (1817, I: 63; II: 284-286) disebutkan bahwa orang-orang asing yang tinggal di Sumenep adalah Cina Singkek, Peranakan Cina, Melayu, dan Arab. Kehadiran orang Cina di Sumenep tidak menimbulkan masalah apapun, karena peraturan pemerintah kolonial tidak memberi peluang kepada etnis itu untuk memiliki tanah. Karena alasan peraturan itulah, maka orang-orang Cina di Sumenep umumnya menjadi rentenir, penyewa hak atas tanah, hak pajak tanah, pasar, dan pelabuhan. Sementara orang-orang Arab justru sangat dihormati karena latar belakang agama di mana sebagian di antara mereka diyakini sebagai keturunan nabi Muhammad SAW.
Tidak jauh berbeda dengan keadaan di Sumenep, di Kabupaten Situbondo juga terdapat orang-orang yang asal usulnya dari negeri asing. Namun demikian, karena alasan kesamaan agama maka orang-orang Arab di Situbondo sangat dihormati khususnya mereka yang dianggap keturunan Nabi Muhammad SAW. Sebaliknya hubungan warga Madura Situbondo dengan warga keturunan Cina, umumnya lebih bersifat ekonomi di mana orang-orang Cina umumnya berstatus sebagai juragan sedang orang-orang Madura berstatus sebagai buruh atau kuli.
Hubungan tradisional antara warga Madura di Sumenep dan Pamekasan dengan warga Madura di Situbondo rupanya tetap terjalin sampai memasuki akhir abad ke-20 ini. Para kiai besar di Situbondo, pada umumnya menjadi panutan bagi warga Madura di Sumenep dan Pamekasan. Dan peranan kiai sebagai figur sentral bagi warga Madura, sangat berperanan penting dalam setiap perubahan sosial yang terjadi di tengah masyarakat Madura baik yang di Sumenep dan Pamekasan maupun Situbondo dan sekitarnya.
Sementara itu, kelompok masyarakat di Situbondo yang tidak boleh diabaikan keberadaannya adalah para penduduk keturunan Makassar yang sudah tinggal di kawasan itu sejak abad ke-17. Sekalipun jumlah mereka itu relatif kecil dibanding penduduk Madura yang datang pada abad ke-19, namun mereka itu merupakan kelompok yang disegani dan dihormati oleh masyarakat di sekitarnya. Gelar “Daeng” yang disandang oleh sejumlah pimpinan dari komunitas ini, oleh masyarakat Situbondo disebut, dengan penuh rasa hormat.
Komunitas keturunan para pejuang Makassar yang begitu gigih menentang kekuatan Belanda beserta pengaruhnya itu, sampai saat sekarang ini masih menunjukkan identitasnya secara tegas. Sebagai keturunan para pejuang muslim misalnya, komunitas ini dikenal sangat, fanatik dalam membela hal-hal yang berkaitan dengan Islam. Dan kelompok ini, memberikan citra tersendiri bagi kehidupan umat Islam di Situbondo.
Sumber : www.fica.org
0 komentar:
Posting Komentar
katakan kata-katamu