Memasuki areal situs komplek pemakamam Ratu Ibu yang terletak di Kampung Madegan, Kelurahan Polagan, Kec. Sampang Kota, siapa pun pasti tidak akan pernah menyangka bahwa tempat itu merupakan cikal bakal berdirinya kerajaan Sampang. Pasalnya, kondisi situs itu sangat memprihatinkan. Sejumlah benda peninggalan sejarah sudah banyak yang tidak utuh lagi.
Untuk menuju komplek makam terdapat sebuah bangunan gapura, sebagai pintu masuk kompleks pemakaman para raja, serta makam Ratu Ibu yang sangat dikeramatkan oleh warga setempat. Ironisnya, dinding gapura yang terbuat dari batu itu warnanya terlihat suram dan hampir roboh tergerus zaman.
Demikian pula nasib cungkup makam Ratu Ibu, serta makam yang lain, tampak sekali tidak mendapat perawatan. Batu nisannya sudah tidak berbentuk lagi, bahkan sebagian telah hilang. Itu sangat menyulitkan bagi siapa pun untuk mengetahui nama-nama jazad yang terdapat dalam batu nisan tersebut.
Namun, sayangnya, selama ini tidak ada upaya dari Pemkab Sampang untuk melestarikan cagar budaya yang masih tersisa itu. Padahal, menurut data arkeologi dan pakar sejarah, pada daun pintu gapura paduraksa yang berada di komplek makam Ratu Ibu itu terdapat relief berupa seekor naga yang terpanah tembus sampai ekornya.
Relief tersebut dinyatakan sebagai sangkala memet yang berbunyi naga kapanah titis ing midi. Itu berarti tahun 1546 caka (1624 masehi). Berdasarkan catatan sejarah, 1624 masehi merupakan peristiwa pengangkatan Raden Praseno sebagai raja Madura dengan gelar pangeran Cakraningrat I yang berkedudukan di kampung Madegan tersebut.
Raden Praseno adalah anak dari Ratu Ibu dengan Pangeran Tengah yang gugur dalam peperangan ketika Praseno masih kecil. Pangeran Tengah adalah anak dari Panembahan Lemah Duwur, seorang raja yang berjasa meletakkan dasar-dasar kepemimpinan Islam di Madura, khususnya di Kabupaten Sampang.
Dialah pendiri Masjid Madegan, satu-satunya bangunan di situs tersebut yang sampai saat ini masih terawat dengan baik. Masjid yang kabarnya tertua di Sampang itu memiliki keunikan, yaitu 4 tiang penyangga bangunan semuanya miring ke kiri. Meski warga setempat sudah bebebapa kali memperbaiki letak pilar penyangga yang terbuat dari kayu jati tersebut, tetapi tetap saja kembali dalam posisi semula.
“Karena masyarakat mempercayai akan kekeramatan masjid tua itu, sehingga tempat tersebut sering dijadikan sebagai ritual sumpah pocong. Pengunjung yang datang tidak hanya warga setempat, tapi dari luar Sampang bahkan luar Madura sering melakukan sumpah. Jika salah satu pihak yang bersengketa ternyata bersalah, kalau yakin akan meninggal atau bakal menemui musibah,” tutur Muhni, warga setempat.
Kini, di era kepemimpinan Bupati Noer Tjahja, bangunan yang mempunyai nilai sejarah itu, akan dipugar dan diperbaiki. Rencananya, situ situ akan dikembangkan sebagai salah satu ikon yang akan menarik minat wisatawan untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) di sektor pariwisata. Namun, rencana tersebut tidak bisa terealisasi karena tim panggar legislatif tidak setuju dengan pemugaran situs itu. (Achmad Hairuddin)
Sumber: Surabaya Post, Senin, 16 Februari 2009
0 komentar:
Posting Komentar
katakan kata-katamu