Permukiman tradisional Madura adalah suatu kumpulan rumah yang terdiri atas keluargakeluarga yang mengikatnya. Letaknya sangat berdekatan dengan lahan garapan, mata air atau sungai. Antara permukiman dengan lahan garapan hanya dibatasi tanaman hidup atau peninggian tanah yang disebut galengan atau tabun, sehingga masing-masing kelompok menjadi terpisah oleh lahan garapannya. Satu kelompok rumah terdiri atas 2 sampai 10 rumah, atau dihuni sepuluh2keluarga yaitu keluarga batih yang terdiri dari orang tua, anak, cucu, cicit dan seterusnya. Jadi hubungan keluarga kandung merupakan ciri khas dari kelompok ini (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1982)
Susunan rumah disusun berdasarkan hirarki dalam keluarga. Barat-timur adalah arah yang menunjukan urutan tua muda. Sistem yang demikian mengakibatkan ikatan kekeluargaan menjadi sangat erat. Sedangkan hubungan antar kelompok sangat renggang karena letak permukiman yang menyebar dan terpisah. Ketergantungan keluarga tertentu pada lahan masing masing. Di ujung paling barat terletak langgar. Bagian utara merupakan kelompok rumah yang tersusun sesuai hirarki keluarga. Susunan barat-timur terletak rumah orang tua, anak-anak, cucucucu, dan cicit-cicit dari keturunan perempuan. Kelompok keluarga yang demikian yang disebut koren atau rumpun bambu. Istilah ini sangat cocok karena satu koren berarti satu keluarga inti.
Garis keturunan masyarakatnya adalah matrilineal. Hal ini tampak pada tata atur dan kepemilikan rumah, meskipun saat ini mereka menganut extended family. Rumah identik perempuan dan dimiliki bersama, artinya perempuan adalah pemilik sekaligus pemakai rumah tetapi suatu saat pemakaian rumah bisa berpindah saat seniornya yang meninggal dan yang muda akan menempati rumah yang lebih tua. Senior berkewajiban terhadap kesejahteraan juniornya, lebih khusus bagi junior perempuan.
Gambar 1 adalah salah satu model tanean lanjang, yang memperlihatkan adanya pembagian dan komposisi ruang didalamnya. Rumah berada di sisi utara, langgar di ujung barat, kandang di sisi selatan dan dapur menempel pada salah satu sisi rumah masing-masing. Halaman tengah inilah yang disebut dengan istilah tanean. Apabila tanean panjang maka halaman ini disebut tanean lanjang. Tanean menurut generasi penghuninya memiliki sebutan bermacam macam seperti pamengkang, koren, tanean tanjang, masing masing terdiri atas tiga, empat dan lima generasi. Tanean lanjang saat ini sangat sulit ditemukan (Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1997). Tulisan ini bertujuan untuk memahami makna sesuai
dengan konteks primordial masyarakatnya. Dengan memahami makna dari pola ini diharapkan banyak hal yang bisa dikembangkan dan dipelajari lagi dari pemikiran masyarakatnya.
PROSES TERBENTUKNYA PERMUKIMAN TRADISIONAL MADURA
Terbentuknya permukiman tradisional Madura diawali dengan sebuah rumah induk yang disebut dengan tonghuh. Tonghuh adalah rumah cikal bakal atau leluhur suatu keluarga. Tonghuh dilengkapi dengan langgar, kandang, dan dapur. Apabila sebuah keluarga memiliki anak yang berumah tangga, khususnya anak perempuan, maka orang tua akan atau bahkan ada keharusan untuk membuatkan rumah bagi anak perempuan. Penempatan rumah untuk anak perempuan berada pada posisi di sebelah timurnya. Kelompok pemukiman yang demikian disebut pamengkang, demikian juga bila generasi berikutnya telah menempati maka akan terbentuk koren dan sampai tanean lanjang. Susunan demikian terus menerus berkembang dari masa ke masa. Apabila susunan ini terlalu panjang maka susunan berubah menjadi berhadapan. Urutan
susunan rumah tetap dimulai dari ujung barat kemudian berakhir di ujung timur. Pertimbangan ini dikaitkan dengan terbatasnya lahan garapan, sehingga sebisa mungkin tidak mengurangi lahan garapan yang ada.
Jadi, untuk melacak satu alur keturunan dapat dilacak melalui susunan penghuni rumahnya. Generasi terpanjang dapat dilihat sampai dengan 5 generasi yaitu di tanean lanjang. Posisi tonghuh selalu ada di ujung barat sesudah langgar. Langgar selalu berada di ujung barat sebagai akhiran masa bangunan yang ada. Susunan rumah tersebut selalu berorientasi utara-selatan. Halaman di tengah inilah yang disebut tanean lanjang. Generasi yang sangat panjang ini masih dapat ditemui karena terjadinya perkawinan di bawah umur, bahkan banyak diantara mereka yang dinikahkan sebelum mengalami menstruasi.
RUANG PADA TANEAN LANJANG
Ruang Tinggal
Ruang tinggal atau rumah adalah ruang utama, memiliki satu pintu utama dan hanya terdiri atas satu ruang tidur yang dilengkapi serambi. Ruang bagian belakang atau bagian dalam sifatnya tertutup dan gelap. Pembukaan hanya didapati pada bagian depan saja, baik berupa pintu maupun jendela, bahkan rumah yang sederhana tidak memiliki jendela. Ruang dalam ini adalah tunggal, artinya ruang ini terdiri atas satu ruang dan tanpa sekat sama sekali. Fungsi utama ruang tersebut adalah untuk mewadahi aktifitas tidur bagi perempuan atau anak-anak. Serambi memiliki dinding setengah terbuka, pembukaan hanya ada di bagian depan. Fungsi utama ruang ini adalah sebagai ruang tamu bagi perempuan.
Bangunan rumah berdiri di atas tanah, dengan peninggian kurang lebih 40 cm. Bahan lantai sangat bervariasi mulai dari tanah yang dikeraskan sampai dengan pemakaian bahan lain seperti plesteran dan terakota. Pemakaian bahan tergantung kepada kemampuan ekonomi masingmasing keluarga yang menempati. Bahan untuk dinding dan struktur terdiri dari kayu, bambu, tabing atau bidik dan tembok. Penutup atap menggunakan genteng dan sebagian menggunakan bahan dari belli (daun nipah), atau ata’ alang (ilalang). Bahan pintu utama rumah selalu terbuat dari kayu, sedangkan ukiran hanya digunakan pada masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi tinggi.
Susunan bangunan rumah tinggal, antara bangunan satu dengan yang lain, ada yang tersambung ada pula yang terlepas satu dengan yang lain. Bentuk bangunan untuk masingmasing rumah sangat independen, tidak bergantung pada hirarki tetapi bergantung pada tingkat ekonomi keluarganya.
Bentuk bangunan yang digunakan dapat dibedakan melalui bentuk denah, letak tiang utama dan bentuk atap. Berdasarkan bentuk denah bangunan dibedakan menjadi slodoran atau malang are dan sedana. Slodoran terdiri atas satu ruang dengan dua pintu dan satu serambi serta memiliki satu pintu keluar. Sedana memiliki dua ruang dan dua pintu tetapi memiliki satu serambi dengan satu pintu keluar. Kedua tipe tersebut rata-rata dimiliki masyarakat biasa.
Sementara rumah bangsawan memiliki komposisi yang berbeda, tapi tidak dibahas dalam bahasan ini.
Berdasarkan letak tiang utamanya dapat dibedakan atas bangsal dan pegun. Kedua tipe tersebut dapat dikenali melalui tampilan luarnya. Bangsal berbentuk seperti Joglo Jawa yang terpancung di kanan kirinya, pegun seperti limasan yang memiliki emper pada bagian depan dan belakang. Kedua tipe ini memiliki kesamaan struktur yaitu empat sasaka (tiang) utama.
Bangsal selalu dilengkapi bubungan nok yang berbentuk tanduk atau ekor naga, sementara pegun tidak. Bangsal keempat tiangnya terletak di tengah dengan posisi bujur sangkar, pegun empat tiangnya terletak di pinggir mendekati tembok dengan komposisi empat persegi panjang.
Dari bentuk atap dikenal istilah pacenan, jadrih, trompesan. Bentuk pacenan, hampir selalu tampil dalam bentuk rumah tipe bangsal, dengan hiasan bubungan yang berupa tanduk atau ekor ular. Kata ‘pacenan’ ini berasal dari kata ‘pa-cina-an’, atau seperti bangunan cina. Jadrih memiliki dua bubungan. Rumah ini dalam penyelesaiannya bisa juga dengan sebutan pacenan karena tercirikan pada bentuk bubungannya. Trompesan adalah atap kampung dengan patahan tiga bagian.
Tipe bangunan pada Pemukiman Tradisional Madura
Atap Trompesan
Atas Pegun dan Atap Pacenan
Langghar
Langghar atau langgar berada di ujung barat (kiblat), merupakan bangunan ibadah keluarga. Berfungsi sebagai pusat aktivitas laki laki yaitu transfer nilai religi kepada juniornya, sebagai tempat bekerja pada siang hari, tempat menerima tamu, tempat istirahat dan tidur bagi laki laki, serta dipakai untuk melakukan ritual keseharian dan juga sebagai gudang hasil pertanian (Mansurnoor, 1990). Berukuran relatif kecil dibandingkan dengan rumah, berstruktur panggung dengan tiang-tiang kayu atau bambu setinggi 40-50 cm. Sangger atau lantai terbuat dari bambu, kayu ataupun perkerasan bila tidak berstruktur panggung. Memiliki dinding belakang, kanan dan kiri. Bentuk atap jadrih, tajuk, bahkan trompesan. Bahan dinding terbuat dari bambu, kayu atau tembok. Penutup atap dari daun sampai dengan genteng. Semua ini tergantung kepada kemampuan ekonomi pemiliknya. Tiang penyangga bisa empat bisa juga delapan. Bahan utama bisa dari kayu, bisa juga bambu yang kuat, atau biasa disebut parreng tongga’an.
Kandang dan Dapur
Tata letak kandang dalam permukiman tidak memiliki posisi yang pasti, artinya letaknya dapat berubah sesuai dengan kebutuhan. Pada permukiman awal perletakan kandang cenderung di sisi selatan berhadapan dengan rumah tinggal. Kandang terbuat dari bahan bambu atau kayu dengan atap daun atau genteng. Sementara itu, dinding terdiri atas bambu atau kayu. Masing masing keluarga memiliki kandang sendiri-sendiri. Dapur terletak di depan, di samping langgar ataupun di belakang rumah. Bahan bangunan yang digunakan juga sangat variatif sesuai dengan kemampuan ekonomi keluarga tersebut.
Saat ini banyak masyarakat yang tidak memiliki ternak sehingga tidak semua tanean memiliki kandang. Ternak adalah satu kebutuhan utama bagi mereka yang kehidupannya menggantungkan pada pertanian. apur bagi masyarakat Madura selain sebagai tempat untuk mempersiapkan makanan bagi keluarga, berfungsi juga sebagai tempat menyimpan hasil panen seperti jagung, umbi-umbian, dan lain lain. Dapur identik dengan aktivitas perempuan, aktivitas perempuan banyak dilakukan di tempat ini. ata letak dapur dalam tanean tidak tetap, pada susunan awal dapur kebanyakan bersebelahan dengan kandang, tetapi bisa juga di sebelah langgar, di samping rumah maupun di belakang rumah.
Tanean
Tanean merupakan ruang utama, berada di tengah-tengah permukiman. Berupa ruang terbuka, berfungsi sebagai tempat sosialisasi antar anggota keluarga, tempat bermain anak-anak,aTmelakukan kegiatan sehari-hari seperti menjemur hasil panen, tempat melakukan ritual keluarga, dan kegiatan lain yang melibatkan banyak orang. Disinilah kelebihan tanean, bahwa tanean adalah tempat berkomunikasi dan mengikat hubungan satu keluarga dengan keluarga yang lain. Peran tanean sangat penting, karena disinilah kebersamaan dibangun, otonomi besar di rumah masing masing disatukan melalui ruang tersebut.
Tanean sifatnya terbuka dengan pembatas yang tidak permanen, tetapi untuk memasuki tanean harus melalui pintu yang tersedia. Apabila memasuki tanean tanpa melewati pintu maka akan dianggap tidak sopan. Orang luar, khususnya laki laki, akan berada di luar tanean apabila dalam tanean tersebut tidak ada laki laki.
MAKNA RUANG PADA TANEAN LANJANG
Susunan ruang yang berjajar dengan ruang pengikat ditengahnya menunjukkan bahwa tanean adalah pusat aktivitas sekaligus sebagai pengikat ruang yang sangat penting. Sumbu barattimur secara imajiner terlihat memisahkan antara kelompok rumah dan ruang luar. Langgar sebagai akhiran semakin memberikan arti penting dan utama dari komposisi ruangnya.
Peninggian lantai bangunan juga memberikan satu nilai hirarki ruang yang semakin jelas. Akhiran peninggian berakhir pada langgar di ujung atau akhiran sumbu barat-timur. Tata tetak tanean lanjang memberikan gambaran tentang zoning ruang sesuai dengan fungsinya. Rumah tinggal, dapur dan kandang di bagian timur, di bagian ujung barat adalah langgar. Langgar memiliki nilai tertinggi, bersifat rohani dibanding dengan bangunan lain yang sifatnya duniawi. Langgar mencerminkan fungsi utama dalam kehidupan yang bersifat religius, suci untuk melaksanakan ibadah lima waktu, melakukan ritual daur kehidupan dan sekaligus sebagai pusat kegiatan sehari-hari.
Dalam kehidupan sehari-hari, langgar memerankan fungsinya sebagai tempat kerja, sekaligus sebagai tempat laki laki untuk mengawasi hasil bumi, ternak, istri dan anaknya. Fungsi lain adalah untuk menerima tamu dan ruang tidur tamu laki laki yang bermalam, juga gudang. Dalam beberapa data menyebutkan bahwa langgar berfungsi sebagai tempat yang strategis untuk memudahkan laki laki dalam mengawasi perempuan (Mansurnoor, 1990). Fungsi yang demikian membuat langgar memiliki arti yang sangat penting dan spesifik.
Tinjauan terhadap kepercayaan awal atau primordialnya, masyarakat Madura adalah masyarakat ladang. Meskipun Kuntowijoyo (2002) menyebutkan sebagai kelompok masyarakat tegalan tetapi struktur masyarakatnya secara garis besar adalah masyarakat primordial ladang. Ciri-ciri yang mendasari adalah masalah pembagian ruang, kedudukan perempuan, kekerabatan, sistem kemasyarakatan, serta posisi perkampungan terhadap lahan garapan.
Pada skema ruang di bawah terlihat pembedaan dualisme primordial ladang, pertentangan utara-selatan, barat-timur, laki laki-perempuan, tua-muda, kanan-kiri, gelap-terang, atas-bawah. Utara sebagai tempat tinggal perempuan, dengan ruang yang tertutup, gelap, tanpa bukaan kecuali di bagian depan, posisi ruang yang lebih tinggi atau bagian atas, merupakan daerah khusus perempuan. Simbolisasi sumber kehidupan, tempat memulainya kehidupan. Rumah hanya digunakan untuk tempat tingal perempuan dan bagian luar atau serambi dipakai untuk menerima tamu perempuan juga. Sebaliknya di bagian selatan adalah daerah yang terbuka, terang, kiri, bawah, tanpa peninggian lantai adalah daerah laki laki. Barat terletak langgar,
kematian, tua. Timur berarti awal kehidupan, generasi baru, muda (tampak dari susunan rumahnya yang berurut dari barat ke timur adalah tua ke muda).
Dalam primordial masyarakat ladang makna utara-selatan adalah perempuan dan laki laki. Artinya utara adalah tempat perempuan yang bermakna surgawi atau rohani, dunia atas yaitu yang abadi, gelap, terbatasi, tertutup, basah. Selatan bermakna duniawi, dunia bawah yang sekarang terang, terbuka, kering dan bebas. Namun demikian pada susunan tenean lanjang, tampak ada penyimpangan karena susunan rumah yang saling berhadap-hadapan. Perubahan ini terjadi karena pertimbangan pemakaian lahan yang tidak boleh mengurangi lahan garapan, atau sedikit mungkin dalam menggunakan lahan untuk tempat tinggal. Falsafah ini berakibat juga pada permukiman yang sangat efektif dalam pembagian ruangnya.
Apakah hal ini terjadi akibat dari pengaruh perkembangan Islam selanjutnya? Belum ada penelitian yang mengungkap masalah ini. Dalam falsafah masyarakatnya, susunan yang demikian adalah karena faktor
pengawasan laki laki terhadap keluarganya. Susunan seperti ini memungkinkan laki laki untuk dengan mudah mengawasi dari langgar segala aktivitas yang terjadi di tanean tersebut (mengawasi hasil pertanian, ternak dan keluarganya).
Denah ruang di bawah memperlihatkan pembedaan berdasar konsep dualisme, ruang laki laki adalah kebalikan dari ruang perempuan, laki laki yang serba terbuka, terang dan bebas. Penghargaan terhadap perempuan yang ditempatkan pada posisi yang khusus, gelap dan tertutup adalah ungkapan bahwa ruang perempuan adalah suatu tempat yang sangat penting. Asal usul kehidupan untuk kelangsungan hidup keluarga adalah berasal dari rahim ibu yang gelap dan tertutup. Demikian pula kebiasaan untuk membuatkan rumah untuk perempuan yang sudah menikah bukanlah karena alasan terhadap kesejahteraan belaka. Tetapi dapat dianalisis sebagai ungkapan nilai primordial masyarakatnya, dan hal ini memberikan gambaran tentang pola matrilineal yang terlihat dengan jelas.
Pernyataan tersebut di atas sangat jelas dari pemahaman konsep mandala dimana paduan barat-timur bermakna kematian (barat) dan kelahiran (timur). Jadi, inilah alasan mengapa susunan rumah di Madura selalu berurutan dari yang tua (di sebelah barat) dan yang paling muda (di paling timur). Terlihat dengan jelas bahwa sumber kehidupan atau kelahiran adalah berasal dari timur, yaitu tempatnya manusia muda. Sementara ke barat mengarah kepada bagian yang menuju kematian yaitu yang semakin tua. Konsep ini sangat jelas ditekankan kepada pola yang ada sampai dengan saat ini (Jakub, 2002).
Dari susunan ruangnya dapat dibaca bahwa perempuan adalah dalam, yang berkuasa didalam keluarga, sementara rumah sebagai perempuan sangat terlihat dari sifatnya yang tertutup dan gelap. Sementara laki laki melengkapi peran di luar rumah, bebas, tidak terbatas.
Kedudukan Perempuan pada Masyarakat Madura
Kedudukan perempuan jelas sekali posisinya, terlindungi dan memiliki posisi yang istimewa, perempuan memiliki ruang khusus seperti misalnya rumah adalah tempat perempuan. Peruntukan rumah adalah untuk ditinggali oleh kelompok perempuan. Rumah dihuni oleh perempuan dan anak-anak kecil, laki laki dewasa memiliki ruang yang berada di luar dan sifatnya sangat umum seperti misalnya langgar. Rumah adalah milik perempuan, keluarga memiliki kewajiban untuk membuatkan rumah bagi anak perempuan. Perempuan adalah awal kehidupan. Demikian penting perempuan terlihat dalam beberapa budaya seperti carok.
Budaya carok di Madura terjadi salah satunya berkisar pada perempuan. Laki laki Madura dapat memaklumi dan memaafkan kesalahan karena masalah di luar perempuan. Tetapi bila masalahnya menyangkut perempuan, istri utamanya, maka carok akan terjadi yaitu sampai kepada masalah pembunuhan (Wijaya, 2002.) Menerima tamu laki laki dalam tanean juga tidak terlalu umum apabila dalam tanean tersebut tidak ada laki laki sama sekali. Perempuan hanya akan menyahut dari dalam dan kemudian tidak menemui tamu tersebut. Tamu tidak akan menunggu bila di tanean tersebut juga tidak ada laki laki.
Dalam kekerabatan memang beberapa ahli menyebutkan bahwa Madura mengikuti pola matrilinieal dan patrilineal (Mansurnoor, 1998). Namun kalau melihat beberapa fakta seperti pembagian ruang, fungsi ruang, pemilikan rumah, kebiasaan tinggal dalam keluarga, masyarakat Madura dapat dikategorikan sebagai masyarakat yang menganut paham matrinelial. Penempatan posisi rumah berurut sesuai dengan urutan susunan keluarga, berdasarkan garis perempuan atas kelahiran atau waktu pernikahan. Rumah hanya dipakai untuk menerima tamu perempuan. Sementara untuk ruang laki laki berada di langgar.
Kepemilikan rumah jelas sekali adalah milik keluarga perempuan. Karena pembangunan rumah oleh perempuan, jadi apabila terjadi perceraian maka pihak laki lakilah yang harus keluar. Prinsip ini sangat jelas terlihat pada kebiasaan atau aturan yang berlaku, yaitu saat seorang laki laki menikah maka laki lakilah yang akan tinggal bersama di dalam lingkungan keluarga perempuan. Laki laki adalah pihak luar.
Sistem yang demikian menurut Kuntjaraningrat (1980) disebut sebagai adat uxorilokal. Uxorilokal adalah sistem kekeluargaan dalam satu tempat dihuni oleh satu keluarga senior dan keluarga batih dari anak anak perempuannya.
Dari pertimbangan tersebut jelas sekali bahwa masyarakat Madura dapat dikelompokan kepada masyarakat yang sebenarnya mengikuti pola garis keturunan ibu, atau mengikuti paham matrilineal. Kemungkinan sistim ini berubah karena hadirnya pengaruh Islam yang memperkenalkan paham patrilineal. Namun artefak yang tersisa tidak mengalami perubahan. Pertimbangan tersebut sangat masuk akal jika ditinjau berdasarkan perkembangan garis keturunan menurut Kuntjaraningrat (1980), bahwa perkembangan garis keturunan ibu jauh lebih tua dibanding dengan sistem kekeluargaan dari garis keturunan laki laki. Garis keturunan yang terjadi saat ini merupakan perkembangan dari pandangan berikutnya. Jadi kedudukan perempuan sangatlah penting dan istimewa bagi masyarakat Madura. Oleh sebab itu, penghargaan yang tinggi terhadap perempuan tercermin dalam pemberian rumah kepada anakanak perempuannya sebagai suatu bentuk perlindungan. Perempuan dimaknai sebagai awal
kehidupan.
Sistem kemasyarakatan masyarakat Madura adalah sangat otonom dalam lingkungan kecilnya, bahkan otonom dalam rumah tangga mereka. Hubungan kemasyarakatan kelompok masyarakatnya tidak terlalu jelas. Pertemuan dalam masyarakat luas terjadi apabila ada hajat desaiseperti misalnya rokad desa. Tapi ikatan terhadap satu cikal bakal desa tidak dikenal oleh masyarakat Madura. Jika diadakan rokad di tempat-tempat keramat maka hal ini tidak mengikat kekerabatan dan tidak mengurangi otonomi yang dimiliki kelompok tanean. Ikatan terhadap ladang dan kelompok dalam keluarga lebih dominan daripada ikatan dalam kelompok desanya. Kemasyarakatan yang demikian, yaitu kemasyarakatan yang menunjukan otonomi pada kelompoknya dan tidak adanya ikatan yang kuat terhadap lingkungan, merupakan bukti yang jelas sebagai salah satu ciri dari primordial masyarakat ladang.
Tata Letak Perumahan dan Lahan Garapan.
Letak permukiman terhadap lahan garapan yang terpisah-pisah memberikan gambaran satu otonomi tersendiri terhadap keluarga. Karena kesejahteraan dan penghasilan keluarga tidak ditentukan oleh sistem secara umum tapi lebih ditentukan lahan garapan yang dimiliki oleh keluarga itu sendiri. Dari kasus inilah maka kekerabatan dalam satu kelompok keluarga sangatlah penting dan otonomi terhadap kelompok menjadi besar sementara itu ikatan terhadap kelompok besar menjadi tidak terlalu penting.
Dari data tersebut jelas tampak bahwa masyarakat Madura sebenarnya dapat dikelompokan sebagai primordial masyarakat ladang. Meskipun tidak memiliki ladang yang berpindah-pindah, tapi karakter utamanya sangat berdekatan sekali. Sebagai pembanding adalah masyarakat Sunda maupun masyarakat Minang. Inilah sebenarnya yang menjadi kekhususan Madura sebagai peladang tetap, atau yang oleh Kuntowijoyo (2002) disebut sebagai masyarakat tegalan. Posisi yang demikian menjelaskan kepada kita bahwa makna ruang pada tanean jelas sekali menunjukan adanya otonomi penghuninya, kemandirian dalam memenuhi kebutuhannya, serta kerenggangan yang terjadi terhadap hubungan antar permukiman.
Sistem Ritual
Dalam hal hajatan posisi laki laki dan perempuan tampak dari pembagian kelompokkelompok perempuan dan laki laki. Laki laki ada di depan, sementara posisi perempuan berada di samping yaitu di dalam rumah. Pertunjukan dilakukan di halaman keluarga atau tanean. Orientasi menghadap ke barat atau searah dengan langgar. Apabila acara tersebut tidak terlalu besar maka semakin jelas fungsi langgar sebagai tempat melakukan ritual tersebut. Pembagian orang luar-dalam, laki laki dan perempuan tampak dari ritual-ritual tersebut. Prinsip ini tetap tercermin, laki laki berada di tempat yang terbuka atau luar sementara perempuan berada di serambi yang terlindungi dan relatif tertutup atau dalam. Kehadiran undangan juga mengikuti pola yang sama, undangan laki laki akan berkumpul dengan laki laki sedangkan undangan perempuan akan bergabung dengan undangan perempuan. Tampaknya nilai yang seperti ini
memiliki kesamaan dengan nilai religi Islam, dimana laki laki dan perempuan memiliki pemisahan yang jelas.
Dhukon atau dukun dan kyai, sebagai orang yang dianggap sakti, dipandang lebih tahu dari masyarakat kebanyakan. Dalam ritual keluarga dan masyarakat dukun atau kyai memiliki fungsi yang sama yaitu menyatukan atau pengantara antara dunia atas dan dunia bawah dalam kehidupan manusia. Manusia dipandang tidak akan mampu mencapai yang transenden tanpa perantara orang yang dianggap sakti dan tahu. Hubungan ini tampak dari susunan ruang antara dunia atas dan bawah, laki laki dan perempuan, luar dan dalam yang disatukan dalam dunia transenden lewat ritual-ritual tersebut. Prinsip yang demikian ini terlihat sekali dalam susunan ruang pada tanean lanjang, dengan sumbu utara-selatan dan barat-timur.
Pusat aktivitas yaitu tanean, menjadi jelas maknanya sebagai pusat ritual masyarakatnya. Pengecualian makna ini tidak berlaku pada tanean lanjang yang memiliki susunan rumah yang berhadap-hadapan, meskipun berbeda dalam hirarki tetapi fungsi pusat untuk menyatukan tetap berlangsung dengan baik. Perkecualian ini terjadi karena prinsip mahalnya lahan. Keterbatasan lahan sejak dahulu menjadi problem utama penyusunan ruang tersebut.
Prinsip yang dianut yaitu tidak diperkenankan mengurangi lahan garapan, mengakibatkan susunan
perumahan yang saling berdesakan dan tidak beraturan. Makna ruang memenuhi fungsi ritual tidak saja sebagai pengikat, atau fungsi duniawi saja tetapi lebih dari itu bahwa ruang dalam tanean juga memiliki makna ritual bagi pencerminan kehidupan religi masyarakatnya. Posisi susunan perumahan di Madura mengikuti pola-pola yang demikian, dimana keluarga yang berkedudukan lebih tua selalu menempati posisi paling barat. Pada rumah tonghuh selalu berada paling barat dan ditempati cikal bakal perumahan tersebut atau yang menggantikannya yang paling tua dalam hubungan kekeluargaan. Pada tanean lanjang dengan posisi generasi yang paling panjang maka posisi rumah tonghuh selalu dipakai orang yang paling tua dalam jabatan kekeluargaan. Sementara itu bila orang yang paling tua meninggal maka rumah tersebut akan ditempati keturunan yang paling tua, yaitu perempuan yang paling tua. Ukuran tua tidak hanya
berdasarkan atas kelahiran tetapi juga waktu perkawinan. Tampak sekali bahwa susunan ruang mencerminkan hirarki status keluarga.
SIMPULAN
Ruang bagi masyarakat Madura sangat penting. Pemaknaan ruang lebih mementingkan kepada makna dari nilai-nilai budaya setempat dibanding dengan pertimbangan estetis. Pemahaman makna ruang bertolak dari dan mencerminkan nilai primordial masyarakatnya. Seperti masyarakat ladang pada umumnya, masyarakat Madura menempatkan ruang dengan membedakan antara posisi berlawanan antara laki laki dan perempuan, antara gelap dan terang, basah dan kering, positif dan negatif. Pemaknaan ruang tercermin melalui ekspresi pembagian ruang secara visual yang dapat dengan mudah dinalar secara logika fungsional.
Pengkajian makna melalui primordial masyarakatnya memudahkan untuk membaca satu artefak sesuai
konteksnya. Perkembangan dan perubahan jaman memungkinan terjadinya perubahan pada tanean lanjang. Apakah nilai ini akan tetap bertahan meskipun pengaruh luar semakin besar dan dominan dalam kehidupan masyarakatnya? Masih diperlukan kajian lanjutan untuk perubahan ini.
REFERENSI
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1982. Sistem Kesatuan Hidup Setempat Daerah Jawa
Timur. Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1997. Adat Istiadat Daerah Jawa Timur. Jakarta: Depertemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Kuntowijoyo. 2002. Madura: Perubahan Sosial Masyarakat Agraris. Yogjakarta: Mata Bangsa.
Kuntjaraningrat. 1980. Beberapa pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat
Mansurnoor, Iik Arifin. 1990. Islam: In Indonesian World Ulama Of Madura. Yogjakarta: Gadjahmada Press
Sumarjo Jakub. 2002. Arkeologi Budaya Indonesia. Yogjakarta: Kalam.
Wijaya, A. Latief. 2002. Carok: Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura. Yogjakarta: LKIS.
0 komentar:
Posting Komentar
katakan kata-katamu