Kembang, kembang malatè
Ètamena è Kebunagung
Rassana bedhe sè gaggar
Duh Paman
kembang ponapa
(Kembang, kembang melati
Akan ditanam di Kebunagung,
Terasa ada yang jatuh
Duh Paman
kembang apa gerangan
….)
Lahir dari keluarga guru agama (Islam) dan tumbuh di lingkungan pesantren di Madura, saya menyukai kesenian tradisi Madura sejak kecil. Di awal tahun 1970-an, ketika usia saya kira-kira 5 tahun, saya suka sekali nonton ludruk, topeng, dan tandha’, misalnya. Sementara pertunjukan tandha’ biasanya diadakan dalam pesta perkawinan, pertunjukan ludruk dan topeng dulu sering diadakan di Lapangan Sepakat Lenteng Timur, Sumenep, tidak jauh dari rumah orangtua saya. Pertunjukan itu biasanya berkarcis. Sekeliling lapangan ditutup dengan saksak (rajutan bambu berukuran kira-kira 80 cm x 2,5 m untuk menjemur tembakau) setinggi kira-kira 2,5 meter. Karcis bisa dibeli di loket-loket yang tersedia. Tentu, hanya orang yang memiliki karcis yang boleh memasuki lapangan. Orang di luar lapangan tidak bisa menyaksikan pertunjukan, meskipun tentu saja bisa mendengarkannya karena setiap pertunjukan pastilah menggunakan pengeras suara. Ada kalanya pertunjukan kesenian diadakan juga di tempat-tempat lain di sekitar desa, yang bisa saya tempuh cukup dengan jalan kaki.
Orangtua saya tidak pernah melarang saya menonton kesenian-kesenian tersebut, bahkan mendorong saya dengan menyediakan uang karcis, uang jajan, dan seorang pendamping karena pasti pulang larut malam setiap kali nonton. Jika diperkirakan pulang larut malam dan tempat pertunjukan agak jauh dari rumah, pendamping saya tak lupa membawa kalarè (daun kelapa kering). Seusai pertunjukan, dia —seorang ibu-ibu tetangga saya— membakarnya sebagai obor sepanjang jalan pulang. Sepanjang jalan pulang, dia mengulang atau menirukan beberapa bagian adegan pertunjukan yang baru saja kami tonton, yang bagi saya kadangkala lebih menyenangkan dibanding pertunjukan yang sebenarnya. Demikianlah saya menikmati kesenian tradisi Madura, meskipun dalam banyak hal tidak paham betul apa isinya.
Tetapi, hubungan keluarga saya dengan kesenian tradisi Madura ini ternyata tidak berjalan “mulus”. Belakangan saya tahu bahwa jenis-jenis kesenian ini sebenarnya kurang diinginkan dan cenderung dihindari. Bagi keluarga kami, jenis-jenis kesenian ini ternyata merupakan sesuatu yang sedikit-banyak bersifat “asing”. Meskipun tak pernah melarang, setahu saya orangtua saya tak pernah menontonnya. Dari pembicaraan dan sikapnya, terasa bahwa bagi orangtua saya, ludruk, wayang, dan tandha’ paling tidak bukanlah jenis-jenis kesenian yang dianjurkan. Ini berbeda misalnya dengan kesenian hadrah, samroh, atau samman, yang terasa lebih diterima dalam keluarga kami. Jenis-jenis kesenian terakhir ini bukanlah sesuatu yang “asing”, melainkan sesuatu yang kurang-lebih dianjurkan. Maka, dalam menonton hadrah, samroh, atau samman, saya tidak perlu pendamping khusus, sebab saya akan berangkat dengan anggota keluarga yang juga akan menyaksikan pertunjukan kesenian itu.
Bagi saya, pengalaman masa kecil ini ternyata merupakan miniatur atau puncak gunung es dari polarisasi dan psiko-sosial kesenian dalam masyarakat Madura secara umum. Pertalian kompleks antara Islam, kesenian, dan pola hubungan sosial di Madura merupakan perkembangan dari sistem simbol yang dianut oleh masyarakat Madura sendiri. Jika Islam merupakan sistem simbol melalui mana masyarakat menemukan personifikasinya pada ulama lokal sebagai lembaga yang mengatur dan mempersatukan jalinan sosial yang terpencar-pencar, maka kesenian dalam batas tertentu juga berfungsi sebagai sistem simbol yang melembaga sebagai faktor yang mempersatukan diversifikasi sosial. Tetapi, karena masyarakat Madura bagaimanapun menerima Islam sebagai sistem kepercayaan, dan proses islamisasi terus berlangsung di tengah masyarakat, maka secara umum masyarakat Madura cenderung mensubordinasi kesenian.
Perkembangan kesenian dan masyarakat (kesenian) di Madura bersifat unik, yang secara mikro terlihat pada pengalaman masa kecil saya tadi, dan secara makro akan kita lihat dalam perkembangannya dewasa ini. Secara makro pula kita akan menelusuri aspek-aspek historisnya di masa silam, di mana polarisasi masyarakat (kesenian) dewasa ini merupakan dampak-lanjutan dari konfigurasi sosial keagamaan dan kolonialisme, dengan ulama lokal sebagai institusi sentrumnya. Sudah tentu dalam perjalanannya yang panjang telah terjadi pergeseran dan perubahan polarisasi masyarakat kesenian di Madura, yang —seperti akan kita lihat nanti— bersinggungan dengan proses islamisasi di Madura sendiri secara umum. Namun, paling tidak dalam jangka pendek dan menengah, polarisasi itu tampaknya bersifat permanen, karena islamisasi di Madura lebih berupaya menawarkan alternatif terhadap kebudayaan Madura, bukan mengisi dan memperkaya kebudayaan yang ada. Kecenderungan islamisasi seperti itu menyisakan sekat psiko-sosial masyarakat kesenian, apalagi Islam cenderung mensubordinasikan kesenian itu sendiri.
Islam dan Polarisasi Kesenian
Islamisasi di Madura berlangsung relatif “tuntas”. Sedemikian “tuntas” islamisasi itu, sehingga Islam menjadi identitas dan tradisi masyarakat Madura dalam hampir semua lapisannya, kecuali di kalangan kecil warga non-muslim. Ini tidak berarti Islam sebagai sistem nilai dijalankan secara murni dan konsekuen oleh masyarakat Madura. Bagaimanapun, proses islamisasi dan institusionalisasi Islam dalam masyarakat Madura sendiri, yakni gerakan atau usaha menuju nilai-nilai Islam yang sejati, masih terus berlangsung. Sudah tentu dalam proses tersebut terjadi tarik-menarik, saling rebut pengaruh, bahkan kerap terjadi ketegangan, baik terbuka maupun diam-diam. Namun hampir seluruh fenomena sosial-agama dan pola sosial-budaya di Madura berlangsung dalam ranah atau bazar kebudayaan masyarakat muslim.
Meskipun demikian, diversifikasi sosial-budaya dalam masyarakat Madura tetaplah kompleks, dan dalam batas tertentu berimplikasi pada corak kesenian dan pola sosial masyarakat Madura itu sendiri. Kompleksitas diversifikasi sosial masyarakat Madura antara lain menyangkut perbedaan orientasi budaya mereka, yang sebagian termanifestasi atau bahkan termaterialisasi dalam kesenian. Pada gilirannya, polarisasi masyarakat kesenian di Madura terbentuk atas dasar perbedaan orientasi budaya mereka. Satu kelompok berorientasi pada kebudayaan yang sejauh mungkin berhubungan dengan tradisi Islam; kelompok lain berorientasi pada tradisi Madura tanpa mempersoalkan kaitannya dengan tradisi Islam. Polarisasi ini merupakan dinamika dari masyarakat muslim Madura yang sesungguhnya relatif homogen, namun diversifikasi sosial mereka telah mendorong perbedaan orientasi budaya dan manifestasi konkretnya di lapangan kebudayaan. Dalam konteks ini maka Islam sebagai orientasi budaya kerapkali sangat longgar, meskipun seringkali sangat kuat sebagai identitas budaya.
Polarisasi masyarakat kesenian ini dapat dijelaskan lebih jauh lewat kelompok atau kelas sosial di Madura. Di antara kelompok atau kelas sosial yang sangat berpengaruh dalam masyarakat Madura adalah ulama lokal atau kiai. Untuk sebagian hal ini merupakan konsekuensi dari islamisasi Madura yang relatif “tuntas” tadi. Karena islamisasi berlangsung baik di hampir semua kelompok dan kelas sosial dengan ulama sebagai institusi sentrumnya, maka ulama memiliki posisi sentral dalam struktur sosial masyarakat Madura di hampir semua tingkatannya. Posisi mereka tampak kian kuat dan luas dari waktu ke waktu. Belakangan, konfigurasi politik nasional dan lokal memungkinkan mereka untuk mengintegrasikan diri ke dalam sistem nasional, dimana ulama menduduki posisi tertinggi dalam birokrasi negara tingkat lokal, suatu hal yang sulit terjadi sejak zaman kolonial hingga zaman Orde Baru.
Pada kenyataannya, ulama atau kiai merupakan lingkaran agama, sosial, ekonomi, politik, dan budaya, yang kebanyakan berbasis di pesantren. Lingkaran-lingkaran ulama ini seringkali melampaui batas-batas fisik pesantren yang dipimpinnya; seringkali pula bersentuhan dengan lingkaran agama, sosial, ekonomi, politik, dan budaya ulama lain dalam berbagai tingkatannya. Persentuhan antara lingkaran sosial seorang ulama dengan lingkaran sosial ulama lain secara kultural membangun lingkungan budaya tersendiri, yang ingin saya sebut dengan lingkungan budaya pesantren. Pesantren di sini tidak menunjuk pada lembaga pendidikan sebagaimana lazim dipahami, melainkan pada tradisi dan orientasi budaya yang secara umum bersifat keislaman. Dengan demikian, pesantren di sini lebih merupakan kategori sosial-budaya daripada lembaga pendidikan atau agama.
Khususnya dalam bidang kesenian, lingkungan budaya pesantren adalah ranah tempat jenis-jenis kesenian yang bersumber atau berakar pada tradisi Islam (pernah) hidup dan berkembang. Jenis-jenis kesenian itu antara lain syi’ir (sastra), diba’, hadrah, gambus, samroh (musik), samman, ruddad, zaf (tari), dan drama al-Badar (teater). Akar kesenian tersebut tertanam jauh di jantung kebudayaan Islam —jika bukan isi setidaknya bentuk— yang ditransmisi ke lingkungan budaya Madura melalui berbagai jalan, yaitu pendidikan, budaya, dan tasawuf (tarekat). Syi’ir, bentuk puisi tradisional Arab yang biasanya bermitrum aaaa atau aabb, misalnya, diajarkan di pesantren-pesantren melalui contoh-contoh puisi karya para ulama terkenal. Karena itu, bagi masyarakat lingkungan budaya pesantren, bentuk syi’ir Madura terasa lebih akrab dibanding pantun atau puisi bebas. Jenis-jenis kesenian lainnya (musik, tari, dan teater), jika tidak secara langsung menimba inspirasi dari khazanah Islam, pastilah bertalian atau mendapat pengaruh dari tradisi Islam itu sendiri.
Karena semua jenis kesenian tersebut merefleksikan wawasan atau pengaruh Islam, maka ia tumbuh dalam lingkungan budaya pesantren dimana lingkaran sosial ulama lokal menyentuh lapisan sosial yang relatif jauh dari sentrum institusi ulama itu sendiri. Semakin jauh lingkaran sosial budaya pesantren dari sentrum institusi ulama dimana kesenian mendapatkan tempatnya, maka kesenian tersebut kian menunjukkan asimilasinya dengan kebudayaan Madura non-pesantren. Kelompok drama Al-Badar barangkali dapat dijadikan contoh asimilasi kebudayaan pesantren dan non-pesantren di Madura. Di samping mementaskan skenario atau kisah yang tidak ditemukan akarnya di lingkungan budaya pesantren, mereka mementaskan kisah nabi-nabi yang jelas mengakar di lingkungan pesantren. Yang sangat terkenal di antaranya adalah cerita Nabi Yusuf a.s., sebuah kisah tragis seorang nabi, lengkap dengan kisah-abadi tentang cinta antara Yusuf dan Zulaikha, dan secara keseluruhan memperlihatkan kemenangan iman atas kezaliman.
Berdampingan dengan lingkungan budaya pesantren itu, hidup dan berkembang pula —untuk gampangnya saya sebut saja— lingkungan budaya non-pesantren. Lingkungan budaya terakhir ini juga merupakan lingkaran-lingkaran sosial, ekonomi, dan budaya, bahkan dalam batas tertentu merupakan lingkaran agama atau kepercayaan tradisional juga. Perbedaan antara keduanya terletak pada sistem simbol yang mereka ambil dalam kehidupan sosial mereka masing-masing. Sistem simbol lingkungan budaya pesantren adalah agama (Islam); sistem simbol lingkungan budaya non-pesantren adalah kesenian Madura. Sebagaimana Islam sebagai sistem simbol menyatukan kelompok-kelompok sosial yang terpencar ke dalam lingkungan budaya pesantren, kesenian tradisional Madura sebagai sistem simbol menyatukan kelompok-kelompok sosial yang lain ke dalam lingkungan budaya non-pesantren.
Harus ditekankan bahwa dengan polarisasi ini tidak berarti agama (Islam) sama sekali tidak penting bagi lingkungan budaya non-pesantren. Telah dikemukakan bahwa islamisasi di Madura secara kultural telah berlangsung dengan relatif “tuntas”. Maka itu, masyarakat dalam lingkungan budaya non-pesantren bagaimanapun secara umum adalah muslim, hidup dengan tradisi Islam, bahkan kadangkala juga dengan fanatisme sangat tinggi terhadap Islam. Namun bagi mereka, di samping sebagai identitas, Islam merupakan agama yang relatif longgar dan sangat terbuka. Dengan kata lain, bagi mereka, Islam tampaknya lebih merupakan identitas dimana mereka menemukan eksistensi mereka sebagai makhluk Tuhan, namun mereka tetap mewarisi dan mengembangkan kesenian tradisi Madura dimana mereka menemukan sistem simbol bagi kehidupan sosial mereka.
Karena perbedaan sistem simbol tersebut, yang berarti juga perbedaan orientasi budaya, maka lingkaran-lingkaran dua lingkungan budaya itu kadangkala bersinggungan. Pada titik itu, ketegangan —terutama dalam bentuknya yang sangat halus— seringkali tak terhindarkan. Namun, secara umum ketegangan tampaknya ingin dihindari. Sejauh pengalaman dan kesan saya, ketegangan akibat persinggungan dua lingkungan budaya ini tak pernah melebihi ketegangan yang timbul dalam internal lingkungan budaya pesantren sendiri. Tarik-menarik antara ortodoksi (Islam “murni”) dan heterodoksi (bid’ah) dalam sosio-relijius Islam di Madura, misalnya, juga ketegangan antara Islam tradisional dan Islam modern, pernah menimbulkan ketegangan yang melampau batas-batas harmoni sosial masyarakat pesantren. Oleh karena itu, meskipun masing-masing lingkungan budaya terasa “asing” bahkan cenderung tidak bisa saling menerima satu sama lain, sejauh saya tahu, ketegangan yang terjadi tampaknya tidak begitu berarti.
Sebagaimana telah dikatakan, sistem simbol lingkungan budaya non-pesantren adalah kesenian Madura. Yakni kesenian yang hidup di Madura sejak pra-Islam, diperkaya dengan pengaruh kesenian Jawa, dan relatif steril dari pengaruh Islam. Jenis-jenis kesenian yang hidup dalam lingkungan budaya non-pesantren ini antara lain pantun, mamaca, kol-okol (sastra), ludruk, tandha’, ketoprak, topeng (teater), saronen, gamelan, okol (musik/nyanyian), tayub, sandur (tari). Tentu saja, polarisasi kesenian ini tidak selalu definitif. Dalam beberapa hal, terjadi tumpang-tindih antara kesenian dalam lingkungan budaya pesantren dan non-pesantren. Terjadinya tumpang-tindih itu untuk sebagian menunjukkan terjadinya proses asimilasi kultural antara kedua lingkungan budaya yang masih terus berlangsung.
Tabel 1
Polarisasi Masyarakat Kesenian Madura
No. | Jenis Kesenian | Pesantren | Non-Pesantren |
1. | Sastra/ Tradisi Lisan | Syi’ir | Puisi, pantun, mamaca |
2. | Teater | Al-Badar | Ludruk, tandke’, ketoprak, topeng |
3. | Musik/ Nyanyian | Diba’, hadrah, gambus, samroh | Saronen, gamelan, thongthong, okol |
4. | Tari | Samman, ruddad, zaf | Tayuban, sandur |
Tabel 1 adalah bagan polarisasi masyarakat kesenian dan jenis-jenis kesenian dua lingkungan budaya Madura seperti diuraikan di atas. Karena tulisan ini merupakan pengalaman dan kesan pribadi, maka jenis-jenis kesenian tidak disebutkan secara lengkap. Jenis-jenis kesenian dipilih secara acak berdasarkan kedekatannya dengan satu lingkungan budaya sekaligus menunjukkan perbedaannya, bahkan kontrasnya, dengan kesenian dalam lingkungan budaya yang lain.
Kolonialisme dan Polarisasi Masyarakat
Polarisasi kesenian dan masyarakat kesenian di Madura —sebagaimana diuraikan di atas— menemukan paralelismenya dalam polarisasi masyarakat Madura di zaman kolonial. Karena itu, polarisasi masyarakat kesenian Madura dewasa ini dapat dipandang sebagai berakar pada, atau sekurang-kurangnya merupakan dampak-tak langsung dari polarisasi masyarakat Madura zamal kolonial tersebut. Untuk sebagian, akar-akar polarisasi di zaman kolonial ini dapat menjelaskan kuatnya lingkungan budaya pesantren “menutup diri” terhadap kebudayaan luar, dan lambannya lingkungan budaya pesantren menerima modernitas. Dalam konteks itu, tampak ada gejala atau pola yang relatif permanen, namun pastilah terjadi juga pergeseran yang sangat berarti. Tentu saja, baik gejala permanen maupun pergeseran sosial-budaya tersebut berdampak juga pada psiko-sosial masyarakat Madura yang terpolarisasi itu hingga sekarang.
Polarisasi masyarakat Madura bermula sejak paroh kedua abad ke-19, ketika Belanda mendirikan sekolah pribumi dan sekolah Eropa untuk anak-anak Belanda di Pamekasan pada tahun 1862. Sekolah-sekolah sejenis didirikan juga di Bangkalan dan Sumenep dua tahun kemudian. Mata pelajaran meliputi membaca, menulis, berhitung, dan ilmu bumi. Bahasa pengantar yang digunakan adalah bahasa Madura, Jawa, dan Melayu, sedangkan huruf yang digunakan adalah huruf Jawa dan Latin. Tujuan pendidikan terutama diarahkan untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan personel di bagian administrasi untuk mengembangkan struktur kantor-kantor pemerintah. Namun secara umum sekolah-sekolah pribumi ini dipandang kurang berhasil, antara lain karena para bangsawan enggan memasukkan anak-anak mereka ke sekolah pribumi. Para bangsawan lebih tertarik mengirimkan anak-anak mereka ke sekolah Eropa. Karena itu, sementara jumlah siswa sekolah pribumi terus menurun, jumlah siswa sekolah Eropa terus meningkat hingga akhir abad ke-19 (Kuntowijoyo 2002a: 187-194). Bisa dipastikan, bahasa pengantar dan huruf yang digunakan di sekolah Eropa adalah bahasa Belanda dan huruf Latin.
Sekolah model Barat ini diperkenalkan kepada pribumi ketika pendidikan tradisional agama langgar dan pesantren sudah dikenal luas di tengah masyarakat. Bahkan di akhir abad ke-19 itu, pesantren menunjukkan pengaruh sosialnya yang semakin luas, dan banyak pesantren tengah giat-giatnya mengembangkan diri. Kiai Umrah Zubair (w. 1890) di Sumberanyar (Pamekasan), Kiai Khalil (w. 1923 [1925?]) di Bangkalan, Kiai Abdul Hamid Itsbat (w. 1926) di Banyuanyar (Pamekasan), Kiai Syarqawi (w. 1910) di Guluk-guluk (Sumenep), dan Kiai Chatib (w. 1930) di Prenduan (Sumenep) adalah sebagian kiai-kiai pesantren yang sangat berpengaruh pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Dan, terutama sebagai gerakan sosial-keagamaan di tingkat lokal, aktivitas mereka tampak sangat agresif.
Pengaruh mereka bahkan tidak hanya terbatas di kalangan masyarakat Madura, melainkan juga masyarakat Jawa. Sebagai contoh, di samping berasal dari Madura sendiri, sebagian santri Kiai Umrah Zubair —dia melanjutkan kepemimpinan pesantren yang dirintis orangtuanya— berasal dari Bondowoso dan Panarukan (Iik Arifin Mansurnoor 1990: 43). Lingkup pengaruh sosial Kiai Khalil Bangkalan pasti lebih luas lagi, sebab banyak santrinya kelak mendirikan pesantren —yang kemudian menjadi pesantren-pesantren besar— di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Barat (Abdurrahman Mas’ud 2004: 162). Tentu saja, luasnya pengaruh para kiai ini dengan segera memapankan pesantren sebagai lembaga pendidikan tradisional agama di tingkat rakyat kebanyakan.
Dengan konstelasi seperti itu, maka pendidikan terpolarisasi ke dalam pendidikan agama (pribumi) dan pendidikan kolonial (Belanda). Hal tersebut kemudian menentukan pola hubungan selanjutnya antara ulama dan para santrinya di satu pihak dengan pemerintahan kolonial dan para kolaborator lokalnya di pihak lain. Kecenderungan ini terus berlangsung, kemudian menimbulkan keengganan masyarakat desa terhadap sekolah buatan Belanda, sekaligus melanggengkan kecurigaan pemerintah kolonial terhadap pesantren (Iik Arifin Mansunoor 1990: 43). Polarisasi pendidikan ini kian nyata dan kian keras, didorong pula oleh kemarahan masyarakat desa terhadap pemerintah kolonial dan para kolaborator lokalnya di kota, yang bukan saja merugikan, melainkan juga memeras mereka melalui sistem perpajakan, pengerjaan tanah garapan, dan lain-lain. Hampir dalam semua hal, ketentuan sistem perpajakan dan terutama sistem pengelolaan lahan pertanian ditentukan secara sepihak oleh pemerintah. Pada abad ke-19, keadaan sedemikian buruk: rakyat Madura “hidup dalam keadaan ‘mendekati perbudakan’” (Huub de Jonge 1989: 77).
Tidaklah mengherankan kalau para ulama kemudian menjadi pusat-pusat perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. Perlawanan yang terorganisasi relatif baik untuk pertama kali pecah pada akhir abad ke-19, tepatnya tahun 1895, di desa Prajan, subdistrik Darmacamplong, Sampang, ketika Kiai Semantri atau Kiai Lanceng dicurigai Belanda sebagai menghembuskan perasaan antipenguasa kolonial kepada penduduk desa (Kuntowijoyo 2002: 337-345). Belanda beberapa kali mengutus bawahannya dengan tugas menangkap Kiai Semantri, namun masyarakat desa berhasil melindunginya dan berhasil pula mengusir utusan Belanda itu. Hingga akhirnya Belanda mengirimkan tentara dengan missi khusus menangkap Kiai Semantri. Bersembunyi di balik tikar di langgarnya dan dilindungi oleh pengikut-pengikutnya, Kiai Semantri akhirnya tertangkap setelah perkelahian sengit beberapa saat berlangsung. Semantri ditangkap bersama seorang perempuan dan 4 orang santrinya, lalu dijebloskan ke penjara di Pamekasan.
Perlawanan terus berlanjut pada awal abad ke-20. Tapi tampaknya semangat melawan lebih besar dibanding kekuatan yang sesungguhnya. Kiai Khalil Bangkalan ditangkap kolonial pada dekade pertama abad ke-20, dan tak lama kemudian dibebaskan (Abdurrahman Mas’ud 2004: 175). Namun, perlawanan terorganisasi di awal abad ke-20 dilakukan terutama oleh gerakan-gerakan Sarekat Islam (SI), seperti terjadi di Sapudi, Sumenep, pada tahun 1913 dan di Duko, Pamekasan, pada tahun 1919, dimana tokoh SI di dua daerah itu juga akhirnya ditangkap (Kuntowijoyo 2002: 511-523).
Meskipun seringkali menderita kekalahan, api perlawanan ulama terhadap pemerintah kolonial tak pernah padam. Hingga pertengahan abad ke-20, perlawanan terus dilancarkan, diperkuat dengan organisasi dari tingkat lokal hingga nasional. K.H.A. Djauhari Chotib dari Prenduan, Sumenep, misalnya, mendirikan sejumlah organisasi. Pada tahun 1947, Kiai Djauhari membuka cabang Hizbullah di Prenduan. Didirikan pada tahun 1944, Hizbullah adalah organisasi militer pemuda Majelis Muslimin Indonesia (Masjumi), organisasi yang berpengaruh secara nasional kala itu (Huub de Jonge 1989: 256). Di samping itu, Kiai Djauhari mendirikan Angkatan Muda Prenduan (AMP), Barisan Sabilillah, Barisan Keamanan Rakyat (BKR), Keamanan Nasional Indonesia (KNI), dan Barisan Pertahanan Rakyat Indonesia (BPRI). Semua ini dilakukan Kiai Djauhari untuk memobilisasi pengikutnya bergerilya melawan pasukan kolonial. Berkali-kali melakukan perlawanan antara tahun 1940-1950, Kiai Djauhari akhirnya ditangkap dan dipenjara berturut-turut di Sumenep, Pamekasan, Bangkalan, dan Surabaya (Jamaluddin Kafie et all. 1997: 44-50).
Dalam pada itu, tahun 1947 adalah tahun yang mencekam di Guluk-guluk, sekitar 15 km arah utara Prenduan. Pertempuran melawan Belanda di bawah komando K.H. Abdullah Sajjad segera akan pecah. Kiai Abdullah menghentikan untuk sementara aktivitas pendidikan di pesantren Annuqayah yang dipimpinnya. Komandan Laskar Sabilillah ini memobilisasi pengikutnya dan mengatur strategi perang. Pada mulanya, pasukan Laskar Sabilillah berhasil menahan pasukan Belanda masuk Guluk-guluk. Tapi pada suatu malam lepas Maghrib, ketika dia menerima sejumlah tamu di rumahnya, mendadak sembilan serdadu kompeni masuk dan menangkap paksa Kiai Abdullah. Anak pendiri pesantren Annuqayah, Kiai Syarqawi, ini kemudian diseret ke Kemisan, 1 km utara pesantren. Kiai Abdullah mencegah orang-orang mengawalnya. Dan, Minggu ketiga bulan Oktober 1947 itu benar-benar mencekam: Kiai Abdullah Sajjad gugur di ujung bedil tentara Belanda di lapangan Kemisan (Abdurachman 1988: 68; Bisri Effendy 1990: 58; Syafiq 2006: 44-17).
Kemarahan dan kebencian rakyat terhadap pemerintah kolonial dan kolaborator lokalnya terus memuncak, apalagi dengan tewasnya ulama mereka dalam pertempuran melawan kaum kolonial. Maka perlawanan sebisa mungkin terus dilancarkan. Bagaimanapun ulama adalah lingkaran pesantren yang kian luas, sehingga meskipun kerapkali menderita kekalahan terhadap lingkaran kolonial yang lebih kuat, mereka tidak mudah menyerah. Lebih dari itu, kemarahan dan kebencian tak hanya diekspresikan melalui pertempuran, melainkan juga melalui dunia simbolik, yaitu membangun simbol-simbol identitas mereka sendiri, yang secara diametral berbeda dengan simbol-simbol identitas penguasa kolonial. Inilah perlawanan kultural terhadap kaum kolonial.
Dunia simbolik tersebut setidaknya meliputi pendidikan, basis geografis, keilmuan, pakaian, dan penguasaan bahasa asing (lihat tabel 2). Simbol-simbol identitas lingkungan pesantren adalah langgar, pondok atau pesantren (pendidikan), desa (basis geografis), ilmu agama Islam (keilmuan), sarung dan songkok (pakaian), dan bahasa Arab (bahasa asing). Berbanding terbalik dengan itu, simbol identitas lingkungan kolonial adalah sekolah model Barat (pendidikan), kota (basis geografis), ilmu umum (keilmuan), pantalon, celana, dasi, jas (pakaian), bahasa Belanda (bahasa asing). Simbol-simbol identitas adalah pagar pembatas yang membedakan sekaligus memisahkan sejauh mungkin dua lingkungan masyarakat (pesantren dan kolonial) yang tak mungkin berdamai dalam hal apa pun.
Tabel 2
Polarisasi Masyarakat Madura Zaman Kolonial
No. | Simbol Identitas Lingkaran Pesantren | Simbol Identitas Lingkaran Kolonial | |
1. | Pendidikan | Langgar, pondok, pesantren | Sekolah pribumi, sekolah model Barat |
2. | Basis | Desa | Kota |
3. | Keilmuan | Agama Islam | Umum |
4. | Pakaian | Sarung, songkok | Pantalon (celana), dasi, jas |
5. | Bahasa Asing | Arab | Belanda |
Dengan simbol-simbol identitas itu, menjadi nyata bahwa polarisasi kini bukan lagi sekadar polarisasi pendidikan sebagaimana terjadi di akhir abad ke-19, melainkan polarisasi masyarakat secara keseluruhan. Dan, dunia simbolik telah turut memperluas sekaligus memperkeras polarisasi tersebut. Karena dunia simbolik merupakan ekspresi kemarahan dan sikap permusuhan (terhadap kaum kolonial), dan permusuhan itu bersifat politis bahkan ideologis, maka dunia simbolik itu pun jadi ideologis pula. Adalah masuk akal jika terjadi proses ideologisasi dunia simbolik di kalangan masyarakat, baik secara lunak maupun keras. Hal itu kadangkala diperkuat dengan argumen agama, misalnya hadis Nabi Muhammad bahwa orang yang menyerupai satu kaum berarti dia bagian dari mereka (man tasyabbaha bi qawm-in fa huwa minhum). Maka orang yang menggunakan simbol identitas kaum kolonial —misalnya celana atau dasi— akan dipandang sebagai bagian dari kaum kolonial itu sendiri. Sedemikian kuat corak ideologis dunia simbolik zaman kolonial ini, sehingga ia tetap terasa hingga zaman kemerdekaan, bahkan sampai sekarang. Tapi bagaimanapun corak ideologis dunia simbolik pesantren itu kini sudah mencair, jika tidak hilang sama sekali.
Polarisasi masyarakat Madura zaman kolonial ternyata paralel dengan polarisasi masyarakat kesenian dewasa ini. Jenis-jenis kesenian yang hidup dalam lingkungan budaya pesantren, dalam coraknya yang lunak merupakan simbol identitas lingkungan budaya pesantren itu sendiri. Inilah gejala permanen dari dunia pesantren: ia hidup dengan dunia simboliknya sendiri sejak zaman kolonial hingga sekarang. Ketika simbol-simbol identitas pesantren zaman kolonial sudah mencair, pesantren kemudian mengkristalisasi simbol-simbol identitasnya yang lain di bidang kesenian. Ini memang bisa menguntungkan bagi masyarakat kesenian pesantren, sebab dengan begitu khazanah kesenian pesantren yang khas terwariskan dari generasi ke generasi sekaligus turut memperkaya khazanah kebudayaan Madura. Namun demikian, memegang kesenian sebagai simbol identitas pesantren secara kaku tampak telah menghambat proses pengayaan kesenian masyarakat pesantren itu sendiri, menghambat juga proses asimilasi kesenian dan kebudayaan pesantren ke dalam lingkungan budaya non-pesantren.
Dalam pada itu, dengan runtuhnya kolonialisme, konfigurasi sosial bagaimanapun telah berubah. Kini yang berdiri di seberang “sana” bukan lagi kaum kolonial dengan kolaborator-kolaborator lokalnya, melainkan lingkungan budaya non-pesantren yang secara sosio-keagamaan duduk di majelis agama yang sama, sehingga secara kultural pun keduanya bisa duduk berdampingan. Demikianlah maka pergeseran ini mengubah pula psiko-sosial lingkungan-lingkungan budaya di Madura. Jika simbol identitas pesantren zaman kolonial merupakan ekspresi politik dan ideologi melawan kaum kolonial, kesenian masyarakat pesantren kini merupakan ekspresi agama dalam lapangan kebudayaan —sehingga bisa dikatakan juga sebagai ekspresi budaya, sama halnya dengan kesenian masyarakat non-pesantren. Dalam konteks ini, maka saling melunakkan diri tampaknya merupakan masa depan kesenian dan kebudayaan Madura, dimana masing-masing lingkungan budaya terus menggali dan memperkaya ekspresi budayanya di satu pihak, dan saling meresapkan diri satu sama lain dalam batas-batas yang mungkin dan dapat diterima di pihak lain. Pada taraf itu, Islam akan menerima bahkan merangkul kebudayaan “asli” Madura sekaligus mewarnainya dengan corak keagamaan yang dapat dipandang sebagai khazanah kebudayaan Islam Madura yang khas.
Madura di Aras Kebangsaan
Memandang Madura, keislamannya, keseniannya, dan kebudayaannya, pada akhirnya adalah memandang Indonesia, keislamannya, keseniannya, dan corak umum kebudayaannya. Pergumulan atau dinamika Islam di Madura, adalah pergumulan keislaman, kemaduraan, dan akhirnya juga keindonesiaan. Apa yang menarik dari dinamika Islam di Madura sebagaimana diuraikan di atas, adalah perbedaan orientasi kebudayaan suatu masyarakat yang sesungguhnya relatif homogen, yaitu orientasi keislaman di satu sisi dan orientasi kemaduraan di sisi lain. Yang pertama sejauh mungkin mengacu pada sumber-sumber (kebudayaan) Islam; yang kedua mengacu pada tradisi “asli” Madura ¾tradisi yang steril dari pengaruh kebudayaan Islam.
Perbedaan orientasi ini tentu saja dihadapkan pada pilihan-pilihan untuk membuka diri terhadap berbagai kemungkinan guna mengembangkan diri sebaik mungkin. Dalam konteks ini, membatasi pilihan-pilihan yang tersedia sebagai sumber pengembangan kebudayaan hanya akan membatasi ruang gerak dan akhirnya akan memperlambat juga laju kemajuannya. Maka pilihan hanya harus dijatuhkan pada saling menerima dan saling memberi dalam batas doktrin, norma, dan nilai yang bisa diterima. Demikianlah misalnya Islam bisa memberikan nilai moral dan spiritual pada tradisi “asli” Madura, sehingga melahirkan kesenian dan kebudayaan yang bercorak kemaduraan sekaligus keislaman.
Perbedaan orientasi kebudayaan masyarakat Madura berikut dinamika sosial dan kultural di dalamnya, hanyalah satu eksemplar dari berbagai orientasi kebudayaan Indonesia yang pastilah jauh lebih kompleks. Jika dalam masyarakat Madura yang relatif homogen saja terdapat perbedaan orientasi kebudayaan, maka perbedaan orientasi kebudayaan Indonesia yang majemuk pastilah merupakan suatu hal yang niscaya. Pastilah lebih kompleks pula tarik-menarik, saling rebut pengaruh, dan gesekan-gesekan yang ditimbulkannya. Tetapi, bagaimanapun, semua perkembangan itu dapat ditempatkan sebagai dinamika suatu komunitas relijius yang terus-menerus berusaha menemukan wujud kebudayaan mereka sendiri di tengah tersedianya sumber-sumber kebudayaan yang melimpah. Dalam konteks ini, maka kemaduraan adalah merawat tradisi “asli” Madura dalam batas-batas maknanya yang relevan bagi masyarakat Madura sendiri khususnya; keislaman adalah menggali sumber nilai-nilai moral, relijius, dan spiritual demi memberi isi dan relevansi baru pada kemaduraan yang pastilah terus bergerak; dan keindonesiaan adalah wujud kebudayaan “baru” yang bercorak kemaduraan sekaligus keislaman, yang mau tak mau mengikatkan diri pada Indonesia sebagai suatu komunitas kebangsaan.
Kontekstualisasi Islam di Indonesia dengan demikian menemukan relevansinya dalam mengakarnya Islam itu sendiri dalam kebudayaan-kebudayaan lokal melalui asimilasi dan akulturasi yang saling menghidupi, memperkaya, memperdalam, dan memperluas, sehingga saling menguntungkan. Dengan kebudayaan Islam yang terekspresikan dalam kebudayaan-kebudayaan lokal yang melimpah, yang berarti meresapkan nilai-nilai moral, relijius, dan spiritualnya ke dalam kebudayaan lokal itu sendiri di satu sisi dan menyertakan kebudayaan “asli” Islam ke dalamnya di sisi lain, maka kebudayaan Islam Indonesia adalah wujud kebudayaan yang sedemikian kayanya, dan secara keseluruhan akan menjadi kebudayaan “baru” dengan maknanya yang relevan bagi suatu komunitas relijius masyarakat Muslim terbesar di dunia ini. Dengan orientasi kebudayaan yang secara bersama-sama mengaitkan keislaman, kedaerahan, dan keindonesiaan itulah masa depan Indonesia akan hadir sebagai sebuah wujud kebudayaan yang kokoh dengan kekayaan yang melimpah.
Dari sudut pandang kesenian dan dunia simbolik, pengalaman Islam di Madura menunjukkan, bahwa belum tuntasnya proses integrasi keislaman dalam kemaduraan di tengah relatif “tuntas”-nya islamisasi Madura sendiri bagaimanapun sedikit-banyak menyisakan sekat psiko-sosial yang kerap menginterupsi keutuhan entitas dan identitas suatu komunitas budaya di suatu daerah. Ditarik ke aras kebangsaan, pengalaman itu sesungguhnya merupakan sebuah dinamika sosial yang sedang berproses mendewasakan dan mematangkan diri. Identitas kebangsaan pada akhirnya sangat ditentukan oleh dialog kreatif antara sumber nilai keagamaan dan kedaerahan, yang secara bersama-sama dapat mengusung keindonesiaan sebagai suatu entitas dan identitas budaya yang majemuk. Keindonesiaan dengan demikian sejatinya berakar pada, dan dibangun di atas sumber-sumber primordial dan tradisional yang tersedia, dan secara terbuka berproses untuk saling mematangkan diri melalui dialog budaya yang kreatif lagi produktif.
Setidaknya demikian saya berharap. Maka harapan hanyalah agar kita mencoba menanam kembang melati di Kebunagung, meskipun kita tahu: setiap kali menanam kembang, terasa ada yang jatuh dari tangan tanpa selalu kita tahu kembang yang mana.***
0 komentar:
Posting Komentar
katakan kata-katamu